Langsung ke konten utama

politik desentralisasi


Menggagas Otonomi Daerah Masa Datang


            Pemberlakuan Undang-undang Otonomi Daerah/Otda No. 22 tahun 1999 tentang Daerah yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Otonomi daerah yang telah terimplementasi sejak tahun 2001 tersebut mampu mengangkat beberapa daerah di Indonesia menjadi lebih maju. Namun apabila dinilai secara keseluruhan, tidak keseluruhan otonomi daerah berhasil bahkan hasil dari otonomi daerah itu sendiri masih belum menjawab tujuan utama desentralisasi itu.
            Henry Maddick (Desentralisasi dalam Praktek; 2004) bahwa keberhasilan dari sebuah otonomi daerah dibarengi dengan:
1.      campur tangan pemerintah yang mendukung masyarakat
2.      adanya partisipasi dan keinginan untuk berubah kearah yang lebih baik
3.      pengetahuan teknis
4.      efektivitas dalam pembangunan daerah
5.      kreatifitas distrik dalam memunculkan ide dan solusi terhadap permasalahan
6.      pelatihan dan kunjungan dengan tujuan meningkatkan kualitas dan membuka diri terhadap daerah lain sehingga mampu berkompetisi positif terhadap daerah lain.
7.      kolaborasi dengan pihak lain dengan tujuan menopang keberhasilan.
            Dalam kutipan dan hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam website http://www.kontan.co.id, dikatakan bahwa
“… otonomi daerah gagal memberi kesejahteraan terhadap rakyat (Media Indonesia, 21 Maret 2007). Menurut LSI, dari 1.109 responden yang disurvei, mayoritas mengatakan otonomi daerah hanya berdampak positif terhadap aspek keamanan. Aspek pendidikan, kesehatan, pengangguran, dan kemiskinan dinilai justru lebih parah jika dibandingkan dengan sistem sentralisasi di masa Orde Baru.”
Pernyataan ini dapat dikatakan sesuai dengan faktanya apabila beranjak dari contoh kasus Otonomi Khusus (otsus) Papua. Tanggal 19 Juli 2001, DPR membentuk Pansus Otonomi Khusus Papua untuk kemudian secara arif mengadopsi draf RUU Otsus Papua yang disusun oleh elemen orang Papua sendiri. Kearifan juga ditunjukkan oleh pemerintahan Megawati yang pada tanggal 21 November 2001 menandatangani hasil kerja DPR sehingga terbitlah UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Namun UU Otsus untuk Provinsi Papua dinilai gagal menciptakan papua baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Hal tersebut terungkap dalam pelucuran buku Papua Road Map di hotel Nikko, Jakarta, selasa siang (30/06).
            Pada awalnya, Otsus Papua sendiri selain bertujuan meningkatkan kesejahteraan seperti yang dikatakan sebelumnya, Otsus Papua juga bertujuan untuk menyuarakan dan memperjuangkan Papua sebagai daerah yang memperhatikan rakyatnya dari segi manapun. Namun pada akhirnya dengan kehadiran Otsus Papua seolah-olah membutakan para pejabat Papua. Hal ini membawa dampak buruk terhadap Tanah dan Masyarakat Papua. Tindak memperkaya diri sendiri dan pembodohan terhadap masyarakat pun nampak dan tertera jelas. Dilain pihak Otsus yang bertujuan untuk pembangunan daerah papua menghasilkan efek, dampak yang buruk dan tidak menguntungkan bagi masyarakat papua. Sebagian pihak dan oknum tertentu menyalahgunakan wewenang dalam proses tanggung jawabnya. Melihat dari ranah ini, faktor yang menjadi keterpurukan papua adalah mental para pejabat yang dipercayakan oleh masyarakat namun tidak dapat mengemban tugas mereka dengan baik. Pada dasarnya, hal ini dapat diatasi dengan memperkuat hukum yang berlaku di Indonesia.
            Mental bobrok dari pejabat yang dengan mudah dapat dibutakan dengan kesenangan sendiri tentu nantinya akan melanjut pada titik akhir dan dampak yang meluas. Dampak itu diantaranya adalah munculnya rasa kurang atau bahkan tidak percaya terhadap politik dan pemimpin di bidangnya. Hal ini secara otomatis akan memunculkan oknum atau pihak yang berfikiran untuk menjatuhkan atau tidak memisahkan diri / separatisme tehadap pemerintah lokal dan pusat. Sudah sewajarnya hal ini muncul karena adanya perasaan dan pemikiran dari pihak tersbut bahwa mereka dieksploitasi dan dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Selain itu, salah satu penyebab separatisme, seperti dikatakan Pejabat Sementara Gubernur Papua Jacobus Perviddya Solossa adalah
”..... kurangnya keterlibatan masyarakat asli dalam pengambilan keputusan politik serta adanya ketimpangan sosial ekonomi. Dalam disertasinya, Solossa mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen responden percaya akan rendahnya keterwakilan orang asli Papua di DPRD dan pemerintah daerah Papua ...................... Mayoritas responden setuju dengan pernyataan bahwa orang- orang asli Papua terpinggirkan dalam kegiatan ekonomi di daerahnya. Kelaparan yang terjadi di Yahokimo ini merupakan bukti nyata dari terpinggirkannya ekonomi penduduk asli Papua.”


Melihat fakta yang ada ini, maka perlu diperhatikan pula ajakan pemerintah lokal kepada masyarakat untuk ikut ambil andil dan partisipasi dalam mengembangkan dan membangun daerahnya tersebut. Hal ini akan menimbulkan rasa kecintaan terhadap daerahnya dan  memperjuangkan demi kesejahteraan masyarakat. Disamping itu masyarakat merasakan diakui keberadaannya dan adanya perhatian dari pemerintah lokal.
           
Simpulan
            Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik simpulan Otsus Papua akan lebih baik dimasa mendatang dengan memperhatikan:
1.      Pentingnya reformasi birokrasi yang bertujuan memperbaiki buruknya kinerja birokrasi merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Reformasi birokrasi juga sangat diperlukan untuk menciptakan good and clean governance, agar negeri ini tidak menjadi bulan-bulanan dan bahan ejekan dalam pergaulan antarbangsa. Proses ini harus melibatkan partisipasi aktif tiga elemen: pemerintah, masyarakat dan swasta.
2.      Pembangunan pada aspek sosial dan budaya, ekonomi, pertahanan, pendidikan dan yang terutama pada sumber daya manusia / SDM (moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan, (karena SDM berkualitas ini merupakan prasyarat), sangat kurang mendapat perhatian sebagaimana dikemukakan oleh Riwu Kaho (1988:60), bahwa penerapan otonomi daerah yang efektif memiliki beberapa syarat, sekaligus sebagai faktor yang sangat berpengaruh, yaitu:
a.       Manusia selaku pelaksana harus berkualitas
b.      Keuangan sebagai biaya harus cukup dan baik
c.       Prasarana, sarana dan peralatan harus cukup dan baik
d.      Organisasi dan manajemen harus baik
3.      Partisipasi masyarakat daerah yang bersangkutan agar tidak memunculkan praduga dan separatisme serta masyarakat dapat ikut ambil andil dalam pengawasan pembangunan daerahnya.
4.      Memperkuat hukum dengan adanya tindakan dan sanksi bagi aparat ataupun warga yang melanggar khususnya di pemerintahan lokal serta menciptakan keadilan di bangsa Indonesia. Hal ini mengurangi adanya eksploitasi, pemanfaatan baik dari sumber daya alam ataupun manusia.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prosesi pemakaman pada saat pandemi covid-19 di Indonesia

kreatifitas anak tk membuat rantai emas - pancasila

hi mam... bingung ni ngisi waktu luang anak di rumah? yuk ajak si kecil berkreasi membuat salah satu lambang pancasila sila ke 2 yaitu RANTAI EMAS ... selain melatih kreatifitas anak, aktivitas ini jg dapat menjalin kedekatan si kecil dengan ortu...terimakasih.👍👍

akuntansi sektor publik

Perkembangan Pemekaran Daerah Pengertian pemekaran daerah Pemekaran daerah merupakan suatu langkah atau cara politik sebuah daerah dengan cara membagi atau memperluas sub bagian wilayah dari daerah tersebut baik bagian atau daerah yang berbentuk provinsi baru atau pun kabupaten baru. Tujuan dari dilakukannya upaya pemerintah dalam pemekaran daerah ini adalah tidak lain dengan meningkatkan berbagai pelayanan social yang diberikan dan meningkatkan kefektivan serta keefisiensian sebuah daerah dalam mengatur atau mengelola daerahnya baik dilihat dari sector perekonomian, politik serta pelayanan public untuk masyarakatnya. Dalam Undang Undang otonomi daerah, wacana pemekaran tidak terlepas dari pemberlakuan prinsip-prinsip otonomi daerah. Hal ini menyimpulkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah merupakan media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Sehingga banyak orang berasumsi bahwa pemekaran daerah merupakan langkah